Pernahkah Anda mendengar istilah “obat generik”? Dikutip dari website PAFI Simalungun (https://pafisimalungunkab.org). Sederhananya, ini adalah obat yang kandungan zat aktifnya sama persis dengan obat bermerek, namun dijual tanpa embel-embel nama dagang yang dipatenkan. Ibaratnya, seperti produk “no brand” di supermarket yang kualitasnya tak kalah dengan produk bermerek terkenal. Ketika masa paten suatu obat berakhir, resep pembuatannya menjadi milik publik.
Ini memungkinkan berbagai perusahaan farmasi untuk memproduksinya tanpa perlu membayar royalti, sehingga biaya produksi bisa ditekan dan harga jualnya pun menjadi lebih terjangkau. Inilah yang kita kenal sebagai obat generik.
Meskipun sama-sama tidak terikat hak paten, obat generik hadir dalam dua “wajah”. Pertama, ada obat generik berlogo, yang biasanya ditandai dengan logo khusus dari pemerintah atau badan pengawas obat. Kedua, ada obat generik bermerek dagang.
Jenis ini tetap menggunakan nama merek tertentu, namun kandungan dan kualitasnya tetaplah generik. Keduanya memiliki kesamaan fundamental: bahan baku dan proses pembuatan yang sama dengan obat bermerek, sehingga mutu dan khasiatnya pun tak perlu diragukan.
Perbedaan signifikan antara obat generik dan obat bermerek terletak pada kemasannya. Obat generik cenderung dikemas secara sederhana, fokus utama adalah melindungi isinya. Hal ini berbeda dengan obat bermerek yang seringkali menginvestasikan banyak dana untuk desain kemasan yang menarik demi mendongkrak penjualan. Strategi pemasaran yang minim pada obat generik juga menjadi faktor penentu harganya yang lebih ekonomis.
Konsep obat generik pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1991 oleh pemerintah. Langkah ini diambil sebagai solusi untuk menyediakan obat-obatan yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Kebijakan ini merujuk pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), yang berisi daftar obat-obatan pokok untuk mengatasi berbagai penyakit. Jauh sebelum itu, pada tahun 1985, pemerintah telah mewajibkan penggunaan obat generik di seluruh fasilitas kesehatan milik negara.
Untuk memastikan implementasi kebijakan ini berjalan lancar, landasan hukum pun dibentuk. Melalui SK Menkes No 085/Menkes/Per/I/1989, diwajibkan bagi dokter di fasilitas kesehatan pemerintah untuk menulis resep obat generik dan apotek untuk menyediakannya.
Sayangnya, tingkat kesadaran dan konsumsi obat generik di Indonesia masih tergolong rendah. Persepsi keliru bahwa harga murah berarti kualitas murahan masih melekat di benak sebagian masyarakat. Padahal, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, konsumsi obat generik di Indonesia jauh tertinggal.
Contohnya, di Thailand, pangsa pasar obat generik mencapai 25% pada tahun tertentu, dan Malaysia sekitar 20% pada tahun 2007. Sementara itu, data tahun 2007 menunjukkan bahwa konsumsi obat generik di Indonesia hanya sekitar 8,7% dari total penjualan obat.
Mahalnya harga obat di Indonesia secara umum disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk biaya distribusi, rantai tata niaga yang kompleks, pajak, dan biaya promosi yang dikeluarkan oleh produsen obat bermerek.
Penting untuk dipahami bahwa kualitas obat generik dan obat bermerek pada dasarnya setara. Mengapa demikian? Karena produksi obat generik juga wajib mengikuti standar ketat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang diawasi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI).
Lebih lanjut, obat generik juga harus lulus serangkaian pengujian, termasuk uji bioavailabilitas atau bioekivalensi (BA/BE). Uji ini menjadi tolok ukur untuk memastikan bahwa obat generik memiliki kemampuan yang sama dalam melepaskan zat aktif ke dalam tubuh dan menghasilkan efek terapeutik yang setara dengan obat inovatornya (obat bermerek pertama).
Uji BE membandingkan penyerapan obat dalam berbagai bentuk (tablet, sirup, dll.) melalui berbagai cara pemberian. Sementara itu, uji BA mengukur seberapa cepat dan seberapa banyak zat aktif obat diserap ke dalam aliran darah.
Secara garis besar, obat generik adalah obat medis yang mengandung bahan kimia aktif yang sama dengan obat yang sebelumnya dipatenkan. Setelah masa paten obat tersebut berakhir, semua perusahaan farmasi berhak untuk memproduksinya tanpa perlu izin atau membayar royalti. Inilah mengapa obat generik tidak memiliki merek dagang eksklusif.
Seperti yang telah dijelaskan, di pasaran kita menemukan dua jenis obat generik: berlogo dan bermerek dagang. Pada obat generik bermerek, nama merek yang digunakan sebenarnya merujuk pada kandungan zat aktif di dalamnya. Contohnya, obat dengan kandungan aktif amoxicillin bisa dipasarkan dengan berbagai nama merek oleh produsen yang berbeda, seperti “Amoxifarma”, “Novamox”, atau nama lainnya. Meskipun namanya berbeda, semuanya tetap mengandung zat aktif yang sama, yaitu amoxicillin.
Dengan memahami hal ini, diharapkan masyarakat dapat lebih bijak dalam memilih obat dan menyadari bahwa obat generik adalah alternatif yang cerdas, aman, dan terjangkau tanpa mengorbankan kualitas dan khasiat.
Disadur dari : pafisimalungunkab.org