Masjid Cut Meutia, sebuah landmark bersejarah di wilayah Menteng, Jakarta Pusat, memancarkan daya tarik yang kuat bagi kaum Muslim di Jakarta. Bangunan masjid yang menyimpan sejarah dari masa penjajahan ini menjadi titik fokus yang menarik banyak perhatian.
Masjid Cut Meutia mengungkapkan lembaran sejarah yang panjang, bermula pada masa pendudukan Belanda pada tahun 1912. Bangunan masjid ini telah mengalami perubahan fungsi beberapa kali sebelum akhirnya menjadi ikon kawasan Menteng.
Dengan gaya arsitektur Eropa klasik, masjid ini memancarkan daya tarik sebagai bangunan legendaris. Desainnya yang unik, tanpa kubah, seringkali menjadi pusat perhatian masyarakat, memicu rasa penasaran bagi yang melihatnya untuk mengetahui lebih lanjut.
Selain desain eksterior yang menarik, Masjid Cut Meutia dikenal dengan ciri khasnya, yaitu saf atau posisi berdiri jamaah salat yang miring secara ekstrem. Keunikan ini muncul karena awalnya bangunan ini tidak direncanakan sebagai masjid.
Jika Anda ingin mengetahui lebih banyak fakta unik dan kegiatan menarik di Masjid Cut Meutia, simak informasi selengkapnya di bawah ini.
Masjid Cut Meutia dinamai berdasarkan Jalan Cut Meutia tempat masjid tersebut berdiri, sebagai penghormatan kepada seorang pahlawan perempuan dari Serambi Mekah, Aceh. Terletak dekat dengan Stasiun Gondangdia, memudahkan aksesibilitas.
Lokasi persisnya berada di Jalan Cut Meutia Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat, administratif terletak di Kelurahan Gondangdia, Kecamatan Menteng. Sebagian barat masjid berbatasan langsung dengan jalur kereta api Jakarta-Bogor dan Stasiun Gondangdia, hanya sekitar 200 meter atau kurang dari lima menit berjalan kaki dari stasiun.
Di sisi timur, masjid berbatasan dengan Pasar Boplo, yang merupakan penyebutan lokal dari kata De Bouwpleg, pengembang perumahan elit di Menteng. Kantor tersebut kini berfungsi sebagai Masjid Cut Meutia.
Akses menggunakan KRL (Kereta Rel Listrik) sangat mudah, cukup turun di Stasiun Gondangdia dari arah Bogor tanpa perlu transit. Namun, jika Anda datang dari Bekasi atau BSD-Bintaro, transit di Stasiun Manggarai dan pindah ke kereta menuju Stasiun Kota, lalu turun di Stasiun Gondangdia.
Untuk akses menggunakan bus Trans Jakarta, pilihan adalah rute Lebak Bulus-Pasar Senen dengan nomor 6H. Bus ini berhenti tepat di depan Masjid Cut Meutia. Bus nomor 2Q dengan rute Perpustakaan Nasional-Stasiun Gondangdia juga dapat digunakan, cukup turun di Stasiun Gondangdia dan berjalan kaki.
Penggunaan transportasi pribadi pun tidak sulit, cukup mengandalkan peta digital dan arahkan ke Masjid Cut Meutia. Meskipun mungkin sedikit membingungkan bagi yang belum pernah, patokan yang mudah adalah Stasiun Gondangdia. Setibanya di stasiun tersebut, berarti Anda sudah berada dekat dengan Masjid Cut Meutia. Dikelilingi oleh pohon-pohon besar dan tanpa kubah, masjid ini menjadi ciri khas yang mudah dikenali.
Masjid Cut Meutia, yang telah menjadi salah satu bangunan bersejarah di Jakarta dan tercatat sebagai cagar budaya di kawasan Jakarta, memegang peranan penting dalam warisan budaya ibu kota. Bangunan yang telah berdiri sejak tahun 1912 ini menyimpan cerita unik karena perjalanan sejarahnya yang melibatkan perubahan fungsi dari perkantoran, gedung MPRS, hingga akhirnya diangkat sebagai masjid.
Pada awalnya, gedung ini menjadi kantor De Bouwpleg, sebuah firma arsitektur dan pengembang perumahan mewah di kawasan Menteng, pada masa kolonial Belanda. Saat pendudukan Jepang, bangunan ini berfungsi sebagai kantor Angkatan Laut Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, gedung ini mengalami serangkaian perubahan fungsi dan tetap menjadi kantor penting dalam pemerintahan. Mulai dari kantor urusan agama hingga Kantor MPRS. Ketika Gedung MPRS pindah ke Senayan, AH Nasution sebagai pimpinan saat itu mengusulkan untuk mengubah gedung ini menjadi masjid.
Keputusan ini diambil karena banyaknya warga sekitar Gondangdia yang kesulitan untuk melaksanakan salat berjamaah, mengingat belum adanya masjid di daerah tersebut.
Setelah melalui beberapa tahap pembahasan, kelompok Remaja Islam Masjid Cut Meutia (RICMA) dibentuk untuk merawat bangunan tersebut sebagai persiapan untuk dijadikan masjid. Meskipun pada awalnya belum memiliki status resmi sebagai masjid, setelah tiga tahun diurus oleh RICMA dan diadakan berbagai kegiatan, pada tahun 1987 bangunan ini akhirnya resmi diangkat statusnya menjadi masjid dengan nama Masjid Cut Meutia.
Salah satu aspek yang menarik untuk disoroti adalah arsitektur yang memukau dari Masjid Cut Meutia. Bangunan ini didirikan di atas lahan seluas 300 m² dengan gaya arsitektur kolonial yang mencirikan tembok tebal yang didukung oleh tiang-tiang tinggi untuk menopang langit-langit.
Dengan ciri khas gaya arsitektur kolonial, masjid ini memperlihatkan pintu dan jendela yang besar, menciptakan kesejukan alami sehingga tidak memerlukan sistem pendingin ruangan atau AC. Masyarakat Betawi menyebutnya sebagai masjid yang “adem.”
Gedung Bouwploeg, yang kini berfungsi sebagai masjid, memiliki empat serambi. Serambi utama terletak di lantai pertama, di sisi timur laut, sementara serambi timur laut, tenggara, dan barat laut berada di lantai dua. Serambi utama berfungsi sebagai pintu masuk utama, tempat istirahat, dan area untuk menitipkan alas kaki para jamaah.
Sementara serambi-serambi di lantai dua, walaupun jarang digunakan, merupakan balkon yang dibatasi dengan pagar. Seperti bagian lain dari gedung Bouwploeg, serambi-serambi ini mengalami perubahan untuk menyesuaikan dengan fungsinya sebagai masjid.
Masjid Cut Meutia memiliki tiga lantai dan menampilkan ciri khas arsitektur Eropa klasik dengan jendela besar dan tinggi. Lengkung-lengkung di atas jendela dan pintu memberikan sentuhan unik dan anggun pada bangunan ini.
Tidak hanya memikat dari luar, bagian dalam masjid juga menjadi favorit bagi pengunjung yang ingin berfoto. Masjid yang dibangun oleh firma arsitek ini terkenal sebagai lokasi yang Instagramable bagi para pengunjung.
Masjid ini menawarkan beragam fasilitas dan kegiatan ibadah yang menarik. Berdasarkan informasi dari takmir masjid, kapasitas masjid ini mencapai 3.000 jamaah, sangat luas, namun selalu penuh saat bulan Ramadan karena acara yang berbeda dari yang biasa.
Salah satu acara menarik yang diadakan adalah Ramadan Jazz Festival di pelataran masjid, yang telah berlangsung selama 11 tahun, kecuali saat pandemi. Pendekatan kreatif seperti ini dianggap sebagai sarana dakwah yang efektif, khususnya bagi para remaja masjid.
Fasilitas Masjid Cut Meutia dianggap sebagai yang terbaik di Indonesia. Ruang salat yang luas, bersih, dan sejuk menciptakan pengalaman ibadah yang nyaman. Dengan langit-langit tinggi, masjid ini selalu terasa adem, bahkan di tengah hari yang panas.
Begitu memasuki ruang utama Masjid Cut Meutia, suasana sejuk terasa dengan sirkulasi udara yang baik. Dinding tinggi dan aliran udara melalui banyak jendela dan pintu memberikan ciri khas bangunan zaman Belanda yang mempertimbangkan fungsi dan kenyamanan.
Meskipun letak sajadah atau permadani tidak simetris dengan tembok, hal ini wajar karena bangunan ini awalnya bukan sebagai masjid dan tidak diarahkan ke kiblat. Ruangan utama terbagi menjadi area salat untuk jamaah laki-laki, perempuan, dan kantor kesekretariatan pengurus masjid. Lantai dua dapat digunakan sebagai balkon jika lantai dasar penuh.
Selama bulan Ramadan, masjid ini menyelenggarakan berbagai kegiatan seperti buka puasa bersama, tadarus Alquran, iktikaf, dan sahur bersama. Aktivitas ini memeriahkan suasana di masjid, ditambah dengan Festival Jazz Ramadan di pelataran masjid.
Masjid Cut Meutia menawarkan lebih dari sekadar tempat ibadah. Dengan sejarah, arsitektur, dan fasilitas yang menarik, masjid ini merupakan destinasi yang layak untuk dikunjungi oleh umat Islam dan bahkan umat beragama lain. Harapannya, para pengunjung dapat menghargai keindahan dan makna keberagaman dalam konteks spiritual.